Jumat, 02 Maret 2012

Oase

SAWAH & INDUSTRI
Bagaimana rasanya menanam padi di atas lahan yang harganya lebih dari Rp. 4 juta per meter persegi? Itulah yang perlu dipahami kalau melihat sawah terbentang di sela-sela bangunan pabrik, rumah mewah dan jalan-jalan protokol. Alhamdulilah anda masih bisa melihatnya di Jababeka, wilayah Cikarang Baru. Juga di Bali, khususnya di pusat pemerintahan daerah, Denpasar.
Dukungan pada perlindungan “Sawah Abadi” memang semakin meluas, sejak dicanangkan pada 2001.  Memang yang mencanangkan bukan pemerintah, tetapi sejumlah aktifis lingkungan, dan berpengaruh sampai kawasan ASEAN.  Pasalnya, yang cemas akan makin habisnya persawahan bukan hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Malaysia, Thailand.  Semua negara yang punya sawah menghadapi serbuan industri yang memerlukan lahan.
Di Propinsi Jawa Tengah saja, misalnya,bisa lebih dari 2000 hektar sawah beralih fungsi dalam setahun. Ada sawah yang hilang karena menjadi jalan tol, tempat parkir, pom bensin, pabrik, lapangan terbang, supermall, dan Circuit Formula One. Ada juga sawah yang dikeringkan untuk ditanami pohon sengon, jati dan jabon. Pemiliknya bosan bertani. Mereka ingin pergi ke kota seputar 5 tahun saja. Maka daripada repot, sawahnya ditanami pohon-pohon keras lalu ditinggal pergi.
Untuk melestarikan sawah-sawah itu, maka dimunculkan wacana Sawah Abadi.  Mengapa lahan sawah perlu dilestarikan? Sebab persawahan adalah kawasan tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Sebidang sawah tidak bisa dibuka-ditutup begitu saja.  Sawah berfungsi dengan baik karena diolah dari generasi ke generasi.  Itulah sebabnya sawah digolongkan sebagai “Pusaka Saujana” atau landscape heritage.
Tentu hal itu diwaspadai jangan sampai menjadi “harga mati”.  Kita sedih juga kalau bengkel tidak bisa dibuka di areal persawahan. Padahal sawah juga perlu traktor, truk dan peralatan lain yang harus diservis dang anti oli. Pak tani juga perlu berolah-raga, baik berenang, main tenis maupun golf. Jadi apa salahnya kalau dari beribu-ribu hektar sawah itu dikurangi 100 hektar saja untuk lapangan golf?
Dari sisi ekonomi, kenyataannya, lapangan golf menghasilkan uang sama besar, bahkan bisa lebih besar ketimbang sawah dengan ukuran yang sama dalam setahun.  Tetapi memang, dari sisi ekologi, sawah yang dikelola secara organic dan berkelanjutan, memberikan dampak kesehatan yang sama atau lebih bagus dari sebidang lapangan golf.  Sawah organic, selain menghasilkan makan sehat, juga merupakan cadangan pasma nutfah dan suaka alamiah.
Di areal persawahan kita melihat rantai kehidupan yang utuh. Ada ikan, belut, burung-burung, capung, belalang dan kunang-kunang.  Sawah memberikan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai kehidupan. Ada mitologi Dewi Sri dan Sedana, pelindung kesuburan.  Ada kesenian, pengobatan herbal, kebijaksanaan tradisional terkait dan subur berkembang di persawahan.
Jadi bisa dimengerti kalau sawah diperjuangkan dengan sepenuh hati. Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung sampai membeli beberapa hektar sawah di Cibiru untuk dipertahankan selama mungkin. Di areal sawah, anak-anak bisa dididik untuk lebih mencintai tanah air. Di sana ada sapi dan kerbau yang membantu petani membajak sawahnya. Di sana ada angklung, ibu-ibu yang bernyanyi di musim panen dan lesung yang dipukuli dengan alu, ketika ibu-ibu menumbuk padi.
Lingkungan industri yang canggih, harus mempertimbangkan hal ini.  Kalau peradaban kita mau lestari, semua perlu dipandang dari sisi “keberlanjutaan”. Oleh sebab itu sekarang muncul “Sustainability Professional” yaitu tenaga di sektor produksi, manajemen maupun pemasaran yang harus memikirkan keberlanjutan bisnis dan industri.  Mereka bertanggung-jawab agar manusia bisa menjalankan industrinya dengan bijaksana.
Khusus untuk di kawasan industri Jababeka, salah satu upaya untuk menyeimbangkan kepentingan industri dan kelestarian lingkungan, adalah dibentuknya taman botani atau kebun raya.  Jababeka Botanic Gardens dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup pada 8 Maret 2007, genap lima tahun yang silam. Selamat! ***

0 komentar:

Posting Komentar