Sabtu, 04 Februari 2012

Oase

Senasib Macet Di Jalan Indonesia
Jalan tol bebas hambatan bagi banyak orang boleh dijadikan jaminan 'tepat waktu'. Artinya, kalau sudah masuk tol, apa lagi sudah keluar tol, kita hampir sampai tempat tujuan. Ekstrimnya, kalau dari Jakarta ke arah Bandung, lewat jalan tol dijamin sampai dalam dua jam. Ditanggung beres, cepat, aman, menyenangkan.
Tetapi pada saat buruh mogok, Jalan Tol Cikampek tidak menepati janjinya.  Jarak antara Delta Mas sampai gerbang Cikarang - Lemah Abang, bisa berjam-jam. Padahal biasanya "lima menit lagi sampai." Betul. Dengan kecepatan rata-rata 85 km perjam, jarak kedua pintu yang hanya 7 km harus tembus dalam lima menit.
Nyatanya, semua mobil harus berhenti. Serikat Buruh menutup akses pintu keluar tol, hingga kemacetan panjang terjadi. Saya termasuk yang harus menikmati kemacetan di Tahun Naga Air, 2012 ini. Tepat di Km 36, mobil harus parkir. Jarak Cikarang - Jakarta yang seharusnya kurang dari satu jam, menjadi lebih dari empat jam.
Untungnya saya bisa memahami dan merelakan kehilangan tiga jam dalam kemacetan yang diakibatkan pemogokan buruh itu. Dalam hati saya menyadari, "untung kita hanya berkorban tiga jam. Sedangkan para buruh harus berkorban seumur hidup bila kekeliruan skema upah minimum regional (UMR) terjadi." Intinya, setiap pikiran sehat dan hati yang jernih perlu mempertimbangkan pemogokan itu.
Seharusnya, tidak seorang pun perlu berkorban kena macet di jalan bebas hambatan. Bayangkan, berapa miliar rupiah yang hangus akibat empat jam terlantar. Bensin terbuang percuma, antaran produk terbengkalai, janji-janji bisnis tertunda, dan yang paling berat adalah gangguan kesehatan bagi banyak orang.
Adik saya menulis pesan di BlackBerry, "Makanya kalau mau lewat tol harus siap botol air minum, tisyu basah, cadangan makanan, bacaan, bantal, obat anti mabuk dan selimut." Maksudnya, kemacetan bisa membuat kita sakit perut dan sakit kepala. Namun kita tetap harus menghadapinya dengan gembira. Selalu siap bila harus menemuinya, baik akibat tol banjir, ada kecelakaan beruntun, maupun demonstrasi buruh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa.
Yang terakhir ini - pemogokan dan demonstrasi - saya pikir adalah penyebab kemacetan yang paling mulia, harus dipahami dan diterima dengan sepenuh hati.  Macet yang ditimbulkannya tidaklah seburuk dibanding akibat jalan terlanda banjir atau kecelakaan beruntun. 
Para korban kemacetan memang tampak capek dan lemas, tidak berdaya.  Tetapi mereka pasrah.  Mereka tahu sedang berada di "jalan macet dalam perjalanan bersama bangsa Indonesia".  Maka, di dalam kemacetan, para penumpang bus turun, menyempatkan istirahat, berbagi makanan dan minuman, serta berpotret bersama.
Di dalam kemacetan kita menjadi senasib. Semua sadar, ada perjuangan berat sedang berlangsung. Ada negosiasi untuk perbaikan kehidupan. Ada hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dan kita, yang tertahan akibat demo itu ikut menjadi bagian dalam perjuangan membangun Indonesia agar lebih adil, lebih sejahtera. Lebih penting lagi: ikut membangun bangsa yang lebih bijaksana.
Pemogokan tidak perlu terjadi sekiranya instrumen pendidikan hati berjalan baik. Para buruh tidak perlu mengambil risiko berani mati, jika diperlakukan dengan terhormat, dan menghormati semua peraturan serta kesepakatan. Sebaliknya,masyarakat luas pada umumnya dan para majikan, industriawan pada khususnya juga tidak perlu menderita kalau pandai merasa senasib dan sehati dengan para karyawannya.
Sebetulnya kita punya jalan bebas hambatan yang indah, yaitu jalan pikiran yang sehat menuju kemakmuran Indonesia. Di jalan itu kita tidak saling merugikan, tidak saling mengganggu.  Di jalan itu kita saling mengerti, memberikan toleransi, menolong yang lemah, dan mengutamakan kepentingan bersama.  
Mungkin jalan itu tidak terbentang di antara Bandung ke Jakarta lalu ke Merak, atau dari Belawan ke Medan, dari Surabaya ke Sidoarjo. Bukan juga jalan tol di kota Makassar, Semarang, Cirebon dan seterusnya;  melainkan jalan pikiran yang menghubungkan otak dan hati.  Itulah jalan tol yang tidak boleh macet, apa pun yang sedang terjadi' dan dalam kesulitan apapun yang harus kita hadapi. ***
Eka Budianta, pengelola Jababeka Multi Cultural Centre dan pengurus Tirto Utomo Foundation, anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).

0 komentar:

Posting Komentar