Sabtu, 04 Februari 2012

opini publik

PENDIDIKAN KARAKTER DI NEGARA MISKIN NURANI
Oleh Lukas Teguh Jatmiko
Perilaku miskin nilai dan nurani nampaknya kini telah membuat buram pendidikan karakter bangsa kita.Berbagai ketidakadilan dan kesemena-menaan yang menimpa rakyat jelata bangsa ini selain melukai rasa keadilan dan hati rakyat, juga telah menjadi suguhan miskin keteladanan dalam keseharian kita.
Betapa tidak. Rp. 4 milyar untuk sebuah pesawat carter dikeluarkan negara ini untuk menjemput seorang buronan dari bugota, Columbia. Sementara ratusan TKI dideportasi, teraniaya dan tanpa pembelaan di tanah orang atau dapat kembali ke tanah air dalam keadaan terampas, cacat atau hamil bahkan dalam peti mati; rakyat membayar pajak untuk mendanai pembangunan Negara ini sementara tidak sedikit abdi Negara mengkorupsinya; ditemukan rekening gendut Polri dan PNS muda, sementara rekening guru-guru dan aparat diperbatasan kurus kering tak terurus. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (katanya rumah rakyat), Rp. 20,3 milyar untuk renovasi ruang Banggar. Sementara gedung-gedung sekolah bagi pendidikan rakyat (generasi bangsa) tidak layak dan banyak yang roboh tak teranggarkan, jutaan rakyat yang mereka “wakili” hidup jauh dari kenyamanan tempat tinggal, kesejahteraan ataupun jaminan kesehatan. Dalam jerih payahnya, rakyat menabung di bank untuk jaminan atas kesejahteraan hidup, kesehatan dan pendidikan anak mereka sementara pembobol perbankan begitu gampangnya merampas semua dari para nasabahnya; seorang ibu ”mengambil” sebuah kakau dan seorang anak “mengambil” sandal jepit dinyatakan bersalah dan terancam hukuman lima tahun penjara sementara koruptor yang mengambil trilyunan rupiah kekayaan Negara dapat melenggang keluar masuk penjara mewah mereka sambil tertawa.
Dari gambaran dan situasi di atas, kita menangkap isi kurikulum perilaku dan budaya miskin nurani dalam sebuah konteks pendidikan karakater suatu bangsa dan Negara sedang dicontohkan kepada kita dan anak-anak kita. Para elite politik dan patronis negara ini sebagai orang tua kita dalam praktek hidup bernegara secara kasat mata menampakkan karakter dan perilaku miskin nilai (values) kepada anak-anaknya (rakyat). Tindakan, kebijakan, perkataan dan perilaku tidak lagi satu, tidak lagi mencerminkan keluhuran karakter kurikulum kehidupan bangsa ini, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani.
Pendidikan sebagai sebuah proses meniru (imitatio), menginternalisasikan perilaku-perilaku tersebut sebagai pola dan contoh karakter nasional dalam hiden and living curriculum kepada anak-anak kita. Pendididkan Karakater sebagai keadaban publik di tengah situasi yang demikian nampaknya menjadi sesuatu yang langka, sesuatu yang harus diperjuangkan dan digemakan sembari mengais kembali keluhuran budaya kita yang syarat nilai.Akankah orang tua (patronis bangsa ini) mendengarkan nuraninya untuk membangun karakternya sendiri sebagai contoh bagi anak-anaknya (rakyat)?
Kadang saya merasa miris ketika menatap kemiskinan nurani bangsa kita berhadapan dengan murid-murid SMP Presiden yang setiap hari Senin selalu mengumandangkan Kode Kehormatan dan Janji Siswa secara lantang dan semangat sebagai satu komitmen kata dan perbuatan mereka dalam membangun karakter dan citra diri, kedisiplinan dan kepemimpinan mereka di tengah situasi kebangsaan yang miskin nurani dan miskin keteladanan. Kumandang mereka ini bagi saya menjadi outokritik terhadap keadaan bangsanya; Mereka berseru, “iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” di tengah maraknya kekerasan dan intimidasi praktek keagamaan “atas nama Tuhan”, “hormat kepada guru dan orang tua serta menyayangi sesama teman”,  di tengah situasi hidup persekongkolan dan saling merendahkan martabat mulai dari cicak dan buaya, sampai ikan Lohan dan Piranha; “pantang menyontek; pantang menipu; pantang mencuri; pantang berkelahi” di tengah situasi yang korup, manipulatif dan hipokrit; “pantang berbuat asusila; pantang narkoba” di tengah situasi yang hedonis dan konsumeris. Ada ketegangan nilai-nilai yang diajarkan oleh pendidikan sekolah, dengan praktek dalam keluarga dan masyarkat. Lain di rumah, lain di sekolah, lain di masyarakat. Ada harapan bahwa mereka ini adalah generasi pembaharu bagi bangsa ini; tetapi seberapa kuat nilai itu tertanam dan berakar dalam karakter mereka ketika masuk dalam situasi dan keadaan bangsa yang demikian?
Pendidikan karakter rapuh bukan hanya dalam tataran Negara, tetapi juga dapat bermula dari setiap sendi dan pribadi yang menopangnya, termasuk birokrasi. Haruslah menjadi kesadaran kita bersama, bahwa pendidikan karakter bukanlah retorika pelajaran di kelas, ditulis, diajarkan, dinilai, selesai. Pendidikan karakter merupakan proses pewarisan keteladanan nilai dalam tindakan dan perilaku hidup, ing ngarso sung tulada -  ing madyo mangun karso – tut wuri handayani, proses memanusiakan manusia secara bermartabat dan bernilai, proses peradaban perilaku dan budi pekerti luhur yang mencerminkan kemulian daya cipta, daya rasa dan daya karsa; yang dipikirkan menjadi yang dikatakan, yang dikatakan menjadi yang dilakukan, yang dilakukan menjadi kebiasaan, yang menjadi kebiasaan menjadi karakter keberadaban atau kebiadaban. Untuk dapat membedakan ini beradab atau itu biadab kita membutuhkan ketajaman kebijaksanaan hati nurani sebagai sensor. Nuranilah yang mengarahkan kita untuk melakukan yang baik dan benar, dan menghindarkan kita untuk melakukan yang tidak baik dan tidak benar. Dalam nuranilah ketegasan yang baik itu baik, yang tidak baik itu tidak baik. Dalam ketajaman nuranilah nilai-nilai sebagai keutamaan hidup (living values) menjadi kebijaksanaan. Dalam konteks inilah nurani difahami sebagai suara Tuhan, “Sabda Tuhan itu dekat padamu, yaitu di dalam hatimu”,  yang mendorong kita memiliki karakater baik, berbudi luhur dan keteladanan. Jika tidak demikian, maka nurani kita menjadi tumpul, mati dan sesat.
Pengetahuan akan segala sesuatu yang baik tetapi dihayati dan dipraktekkan dalam perilaku yang tidak baik; tahu yang benar tetapi berperilaku tidak benar. Dari sinilah kita dapat memilih, atas dasar mana pendidikan karakter dalam kurikulum hidup ataupun kurikulum nasional kita, berdasarkan nurani yang hidup atau yang mati? Keadaban publik, keteladanan publik, kepemimpinan publik, dan pendidikan karakter secara publik kiranya hanya dapat tercerahkan oleh ketajaman nuraniakan nilai-nilai dan inspirasi habitus baru pemimpin yang bernurani!
Penulis adalah praktisi aktif dunia pendidikan: Kepala SMP Presiden, Trainer Pendidikan Integratif Excellency Educator dan anggota Komunitas Anak Kreatif dan Inovatif (KAKI)

0 komentar:

Posting Komentar