Minggu, 01 Januari 2012

Selamat Tinggal Carut Marut

Selamat Tinggal Carut Marut
Media sebagai alat informasi dan komunikasi penting bagi sebuah keluarga besar bangsa Indonesia beberapa tahun ini, telah menyajikan hampir sebagian besar berita-berita yang suram mendekati gelap. Ibarat lukisan di kanvas, yang menggambarkan sebuah carut-marut yang tidak dapat lagi diterjemahkan artinya, kecuali kekacauan.
Berita tentang tertangkapnya seorang buron kakap di Kolumbia yang telah membuat negara ini ‘gonjang-ganjing’, setelah pencarian panjang yang hampir membuat putus-asa semua orang. Sekarang penangannya hampir mengecewakan semua pihak, karena dianggap tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan dan gawatnya masalah-masalah yang dimunculkan.
Hampir semua bidang mengalami kemunduran, bahkan ‘lampu kuning’ telah mulai menyala, istilah polisi ‘siaga satu’, istilah merapi ‘awas’. Apakah pertanda-pertanda ini benar-benar harus kita waspadai atau sekedar sebuah permainan baru yang harus dihadapi seperti dalam ‘republik mimpi’, dengan sikap masa bodoh ‘emangnya gua pikirin’.
Sikap masyarakat sangat menggejala, orang berpikir serius dan menggebu-gebu tentang satu masalah penting, ternyata bisa hilang dalam sekejap tanpa tahu apa sebabnya. Sebaliknya, orang berpikir enteng dan seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa, tiba-tiba muncul ‘wedus gembel’ dari lereng gunung Merapi yang memusnahkan banyak jiwa dalam hitungan jam, dan jembatan kokoh di Kalimantan tanpa sebab yang jelas, dalam seketika ambrug dan menelan jiwa manusia.
Apakah pertanda atau ramalan atau nubuat, itu salah atau benar; tetapi yang penting kenyataan hidup yang terjadi, haruslah kita waspadai bersama. Kewaspadaan ini, harus menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai keluarga besar, yang merindukan hidup bangsa kita ini menjadi lebih baik. Saya katakan, kita bersama karena ‘kebersamaan’ dan ‘nasionalisme’ kita ini makin memprihatinkan, ditelan oleh kepentingan diri/ golongan.
Ada pihak yang diwajibkan untuk mengumpulkan dan menghimpun dana dengan setia, namun ada pihak lain yang mempunyai semangat ‘menghabiskan’, itulah sebabnya dibutuhkan kebersamaan untuk menyatakan itikad yang baik.
Banyak orang terganggu dengan iklan ‘hari ini kita nggak bayar pajak, apa kata dunia’ tetapi sungguh sayang tidak ada iklan tandingan yang mengatakan ‘apa kata dunia, kalau sampai hari ini, pajak rakyat dijarah habis-habisan’, sekali lagi dibutuhkan kebersamaan untuk menyatakan itikad yang baik.
Sekarang ini, banyak pejabat seolah-olah ketakutan, takut polisi, takut jaksa, takut KPK, takut …., tetapi ketidakadilan, penyuapan, penyelewengan hukum bahkan manipulasi di semua lini juga masih saja terjadi. Benar, yang menjadi kenyataan cuma seolah-olah (seolah-olah takut ternyata lebih berani), lalu ‘sentilun’ bilang, polisi memang pintar, tetapi lebih pintar malingnya.
Beberapa bulan dalam semester ke-2 tahun 2011, khususnya pada saat-saat kita menaruh harapan dengan adanya pergantian, penambahan dan pergeseran elite pemerintahan, ditengah wajah Indonesia yang buruk rupa dari semua segi dan sendi kehidupan, sebuah upaya ditengah hiruk-pikuk persiapan pergantian di elite pemerintahan, ternyata yang terjadi cuma sedikit pergeseran dan kurang menjanjikan, apa boleh buat? Kita tetap berjalan ditempat.
Kalau masih ada yang tersisa adalah rasa was-was, karena takut salah. Ibarat ‘duduk salah, berdiri salah’ atau seperti tragedi buah simalakama ‘dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati’. Ada juga rasa apatis seperti seorang yang hidup tetapi ‘mati rasa’, tidak mau tahu tentang apa yang terjadi; apa yang terjadi, terjadilah. Sebuah sikap yang ‘cuek’. Ada juga sementara orang yang cuma berpikir bagaimana menyelamatkan diri sendiri, tanpa mau peduli tentang yang sudah dan akan terjadi, pokoknya dirinya selamat (tidak mau tahu tentang orang lain, walau sekarat).
Di banyak media, beberapa tokoh masyarakat ditanya, kira-kira apa yang akan terjadi pada hari-hari mendatang, jawabannya hampir sama semuanya; sangat berhati-hati seolah kurang berani mengatakan yang sebenarnya (misalnya, ada harapan .... tetapi ….).
Dalam keadaan carut-marut seperti yang kita hadapi sekarang ini, saya teringat persis dengan almarhum Jend. Pur. TB Simatupang untuk mengambil sikap REALISME yang BERPENGHARAPAN. Menurut saya, inilah jawaban yang tepat untuk menghadapi situasi ‘khaos’ yang sedang dihadapi bangsa tercinta ini, atau katakanlah sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari carut-marut ini, dan berucap selamat tinggal carut-marut.
Realisme yang harus kita wujudkan sekarang ini, yaitu mengatakan dengan jujur dan tulus bahwa kita sedang dalam suasana yang sangat memprihatinkan sebagai bangsa (karena salah melangkah akan berakibat fatal), jangan lagi menipu diri sendiri.
Berpengharapan adalah sebuah perwujudan yang menyangkut komitmen kita semua (yang mengaku beragama dan menyembah Tuhan) sebagai bangsa untuk Takut Akan Tuhan, karena hanya takut akan Tuhan, kita semua akan mempertaruhkan pengharapan kita.
Seringkali kejujuran dan ketulusan sangat berbeda dengan kenyataan yang kita hadapi, seperti seorang yang bertemu dengan temannya dan disapa ‘apa kabar’ dan jawabnya adalah sangat klise, ‘kabar baik’. Walaupun hatinya memendam ketidaknyamanan yang sangat mengganggu, tetapi pokoknya ‘kabar baik’. Kita tidak jujur dengan apa yang kita alami bersama.
Kita juga telah mencoba takut pada manusia dan kelompok-kelompok manusia (entah lembaga atau perorangan yang punya kuasa), dan hasilnya cuma manipulasi dan berusaha bagaimana supaya didepan manusia keadaan kita baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikuatirkan (padahal bau busuknya tersengat dimana-mana).
Sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh setiap anak bangsa, apakah masih ada harapan ditengah realisme yang sangat memprihatinkan ini. Saya menjawab, MASIH ADA! Masih ada harapan, tetapi cuma ada satu jalan, tidak lagi menerka-nerka, mereka-reka atau coba-coba; masing-masing pribadi dan bersama-sama kita harus mewujudkan TAKUT AKAN TUHAN dalam hidup kita.
Katakanlah, Takut akan Tuhan adalah gerakan spiritual bersama, mulai dari diri sendiri; tanpa usah membuat RUU, Satgas atau melakukan studi banding kemana-mana. Gerakan spiritual ini dapat dilakukan oleh ‘rakyat kecil’ atau yang mengaku ‘penggede’, oleh mereka yang menyebut diri ‘tokoh’ dan sebagian besar yang cuma dianggap ‘embel-embel’.
Saya tetap yakin, bahwa takut akan Tuhan, akan memberikan suatu kondisi bermasyarakat yang lebih menjanjikan.

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan. Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat. Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan TUHAN. Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati. Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya, kebajikannya tetap untuk selamanya. 

Siapa yang harus mulai gerakan spiritual ini?
Kita harus menghentikan saling tuding dan melempar tanggungjawab, tidak usah pesimis seolah ‘menuang setetes air dalam lautan’.
KITA HARUS MULAI DARI DIRI KITA SENDIRI. Tuhan memberkati setiap usaha yang baik dari setiap anak-anak-Nya.
Pasti!   (Penulis: MA Christian – Pendeta Emeritus)

0 komentar:

Posting Komentar