Minggu, 01 Januari 2012

BIMA SUCI

BIMA SUCI
“Kisah pertemuan Bima dengan Sang Maha Guru, “Dewa Ruci” yang membimbingnya menemukan kesejatian, sebagai pedoman dalam memenuhi kewajiban di kehidupan”
Dikisahkan dari kegelapan lebatnya belantara, menembus dinginnya udara berkabut, di bawah naungan ketegaran Gunung Jamur Dipa, tampak sosok tegap Raden Werkudara (Bima) sedang bertapa, Sang Kesatria telah menjalani laku prihatin, mengucilkan diri dari segala kenikmatan duniawi selama bertahun-tahun. Bima rela meninggalkan kemewahan Bangsal Kesatrian Yodipati yang nyaman. Ia pun harus berpisah dengan keceriaan keluarga Pandawa yang sangat dikasihi.
Kepergian Bima sebenarnya membawa pilu di hati saudara-saudaranya, Prabu Yudhistira, Arjuna, dan Sikembar Nakula, Sadewa, serta diratapi oleh segenap rakyat Kerajaan Amartapura. Kepergian Bima ternyata telah menggoyahkan keseimbangan negara, Kerajaan menjadi kacau, kemaksiatan merajalela, Para Punggawa dan Pembesar Istana semena-mena mengumbar nafsu angkara, tidak ada lagi yang ditakutkan kini.
Memandang peliknya situasi, Prabu Yudhistira segera mengadakan pertemuan dengan segenap kerabat Pandawa yang juga dihadiri oleh Prabu Kresna, pertemuan ini membahas kegalauan yang sedang dihadapi para Pandawa. Dalam pertemuan tersebut, PrabuYudhistira memohon kesediaan Batara Kresna untuk mencari tahu keberadaan Kakandanya, Bima, dan membujuknya agar mau segera kembali ke Amartapura. Tanpa menunggu lama Batara Kresna segera melaksanakan amanah ini, dan berangkatlah ia mengelilingi semesta.
Batara Kresna dengan mata wibawanya berhasil menemukan Bima dalam sunyi, di kehampaan Gunung Jamur Dipa, dalam dingin yang menyayat tulang. Hati Kresna trenyuh menyaksikan keteguhan Bima, Sang Werkudara tampak khusuk, walaupun fisik bibirnya telah mengatup pucat dan tubuh tegap itu sedikit gemetar menahan coba semesta. Batara Kresna dengan welas membujuk Kesatria Muda itu untuk segera bangkit dari keheningannya, menyampaikan pesan Yudhistira bahwa Kerajaan, rakyat dan keluarga sangat membutuhkan kehadirannya kembali di Amarta. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil, Bima tetap tidak bergeming dari kedudukan tirakatnya, hatinya tetap keras menggenggam cita-cita hingga tujuannya tercapai.
Waktu beranjak, namun Bima tak jua melunak, pada saat itulah turun seberkas cahaya yang berasal dari sebuah Pusaka Berwujud Cakra, menerobos gulitanya belantara dan hampir menghujam dada Bima, pada saat yang sama Sang Hyang Dewa Ruci turun, melesat laksana kilat, membawa serta jiwa serta raga Bima ke Khayangan, menyelamatkannya dan dibawa ke dunia Para Dewa.
Bima bertemu muka dengan Dewa Ruci, sosok sakti Sang Maha Guru, Bima seperti sifatnya yang tanpa basa-basi langsung mengutarakan niat sejatinya untuk mendapatkan “Kasampurnaning Dumadi” (Kesempurnaan Sejati). Alasan inilah kiranya membuat Bima berkeras hati, tepekur dalam pertapaan, bahkan berani mengabaikan ajakan Sri Kresna yang juga utusan Yudhistira saudaranya.
Dewa Ruci juga Dewa yang tidak suka berbelit-belit, Ia memberikan nasihat berharga untuk Bima dengan tutur katanya : “Titahku Harya Sena (nama panggilan kesayangan Bima), jika engkau hendak mencapai kesempurnaan sejati, hal itu mustahil akan tercapai, untuk engkau ketahui, bahwa tidak ada titah yang sempurna, jangankan engkau perintah Dewa dalam wujud manusia, sedangkan dewa-dewa sendiri juga tidaklah sempurna. Dewa Ruci mengingatkan,  bahwa “Sang Hyang Jagad Pratingkah, yang telah berkuasa murba amisesa, dunia yang terentang beserta isinya juga memiliki ketidaksempurnaan, bertangan empat, memiliki taring, tenggok belang, itu sebuah pertanda bahwa semua titah pasti memiliki cacat, lupa, dan keliru. Masih banyak contoh yang bisa dipetik sebagai pelajaran, seperti kekeliruan Sang Hyang Batara Narada saat memberikan Pusaka Kyai Kunta, seharusnya senjata itu menjadi milik adinda Permadi, namun kenyataan yang terjadi, senjata sakti itu tertuju pada Surya Putra (Karna), ini semua karena adanya sifat melik dengan dorongan nafsu.”
Dewa Ruci menambahkan, “Jika engkau meminta kesempurnaan yang sejati, O.. itu mustahil…., sebab hanya Sang Hyang Wisesa Djati yang memiliki sifat “Sempurna”.
Bima kemudian menyampaikan kegundahan hatinya, “Lantas bagaimana caranya agar saya tidak gundah dalam menghadapi “Owah Gingsiring Lelampahan”.
Dewa Ruci dengan berbinar, melihat kecerdasan daya tangkap Bima, kemudian berkata : “Kalau itu yang Ananda tuju adalah sebuah keniscayaan, tentunya pasti Bisa dan semestinya akan mampu engkau capai.”
Sang Maha Guru itu menuturkan lebih lanjut, bahwa: “Alam semesta ini dibagi dalam tiga fase kehidupan (3 jagad triloka) yaitu : Kamaloka Janaloka, Rupaloka, dan Arupaloka. Kamaloka itu alamnya manusia, Rupaloka merupakan alamnya Palemunan, dan Arupaloka adalah alam keabadian, alamnya sukma yang telah diterima, semesta-semesta itu hanya bentuk yang tidak berubah-ubah. Kini yang harus engka capai anakku yaitu cukuplah Janaloka. Semesta Janaloka dibagi dua hal : pertama jagad kecil dan jagad besar, yaitu semesta yang terbentang di mayapada, semseta kecil yaitu semestanya para manusia, jadi semesta yang terbentang ini berisi berjuta-juta semesta kecil dan masing-masing berada dalam roda putarannya masing-masing”.
“Perlu engkau ketahui Bima, isi dari semesta kecil ini serupa dengan seluruh raga manusia, ini tidak berbeda dengan isinya alam semesta yang terbentang luas ini, di dalamnya juga terdapat gunung, sungai, hutan, matahari, rembulan, bintang dan sebagainya.”
“Perubahan-perubahan, penyimpangan-penyimpangan semesta kecil ditentukan oleh kepribadian manusia, supaya tidak tersandung di tengah jalan, terbentur langit-langit, dan agar tidak pusing, jengkel dan bersedih hati, perubahan semesta kecil ini harus selaras dengan perubahan semesta besar, bila tidak selaras tentu akan digilas oleh perputaran alam semesta, akibatnya tidak bisa mengikuti perubahan jaman. Terus tenggelam, menabrak-nabrak, seperti niatan kamu itu Ananda Bima. Sebab, orang hidup tidak tahu tentang hidupnya.”
Bima bertanya : “Wahai Dewa Ruci, apa yang engkau maksud dengan hidup yang mengerti tentang hidupnya itu seperti apa?”
Dewa Ruci menjawab: “Hidup yang mengerti tentang hidupnya, itu manusia yang sudah mampu menyelaraskan pribadinya dengan perubahan jaman, dan dengan selalu memenuhi kewajiban pada hidupnya. Hidup artinya memasuki alam samsara. Alam yang penuh dengan rintangan, keinginan, kemauan. Siapa yang tidak tahu tentang hidupnya, mudah terhanyut di pamiluta, terdorong oleh hawa nafsu, akhirnya lupa pada ujian dan tantangan yang seharusnya dihadapi dan diprihatinkan. Jadi manusia yang selalu tahu dan ingat tentang hidupnya, mustahil akan berbudi pekerti yang mengumbar angkara murka, dan selalu menuruti gejolak hawa nafsu dan gejolak panca inderanya, sehingga lupa segala-galanya, kemewahan, dan kewibawaan, tidak mengingat kesengsaraan orang lain, hanya memikirkan kepentingan pribadi. Begitulah Ananda Arya Sena (Bima)”.
“Bagi engkau anakku, agar hidupmu senantiasa tidak terombang-ambing oleh masalah, maka cukuplah berpedoman pada 4 (empat) perkara yang aku titipkan padamu, yaitu : Bumi, Api, Air dan Angin.
1. Bumi, merupakan kepribadian yang tidak mau berhutang budi, apa yang diberi akan dikembalikan pada yang memberi dengan dilipatgandakan, menjadi pribadi yang dermawan/suka memberi.
2. Api, merupakan kepribadian pantang menyerah, apabila engkau memiliki tujuan mulia tetaplah teguh hingga cita-citamu tercapai.
3. Air, adalah cermin kepribadian yang menghidupi dan mencukupi, jadi semua daya dan upaya yang engkau usahakan harus dapat digunakan untuk kepentingan orang banyak demi kelestarian kehidupan.
4. Angin, adalah gambaran kepribadian yang menghidupi dan adil seimbang, tidak membeda-bedakan semua akan merasakan (sama rasa, sama rata), dari segi apapun akan diperlakukan sama. Prinsip equality.
Jika engkau mampu menjalankan amanah ini, dan memiliki kepribadian yang telah aku gambarkan tadi sebagai pedoman hidupmu di dunia, engkau akan menjadi orang yang tegar, teguh pendirian dan akan melaju lurus ditengah hempasan badai masalah apapun dalam perubahan jaman.
 Bima yang telah tercerahkan tunduk hormat pada Sang Maha Guru Dewa Ruci : “Terima kasih Sang Dewa, kini aku telah merasa lega”
Dewa Ruci menganggukkan kepala membalas penghormatan Sang Murid : “Apabila telah jelas semua perkataanku, cukup sampai di sini, kembalilah Ananda ke Astinapura, jangan sampai terlambat anakku, coba camkan dan lihat apa yang tersirat di telapak tangan kananmu?”
Bima kemudian memperhatikan telapak tangan kanannya yang tiba-tiba bercahaya keemasan : “Ini menggambarkan Negara Astinapura telah dikuasai musuh, dan Kakanda Prabu Duryudana lolos dari kepungan musuh dan sedang meninggalkan Kerajaan.”
Dewa Ruci : “Maka segeralah kembali Bima, jalankan apa yang telah ku sampaikan untuk menjaga para sahabat dan keluarga Pandawa selama kurun 31 tahun kedepan.”
Bima tampak kebingungan karena keberadaannya di dunia para dewa terasa cukup asing, bagaimana cara ia kembali sedangkan arah dan tujuan kemana ia harus pergi tidak ia ketahui.
Dewa Ruci memahami kebingungan Bima, ia segera menolong : “tidak usah risau, pejamkan matamu Ananda Bima, kau akan aku antarkan.” Tidak lama berselang saat Bima berkedip, Sang Kesatria telah ditiup oleh Dewa Ruci melesat dalam sekejap telah sampai di Negara Amartapura. Bima telah bergabung kembali dengan saudara-saudara Pandawa, mengamalkan ilmu yang telah ia timba sebagai landasan dalam memenuhi kewajiban hidupnya. (Sumber : Dalang Ki Sugito HS, Yogyakarta, Kamis, 08 Desember 2011)

0 komentar:

Posting Komentar