Minggu, 01 Januari 2012

CATATAN SDD

Singapore Negara Pancasilais
Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945 dengan ideologi Pancasila. Pancasila ini diambil dari saripatinya kebudayaan bangsa Indonesia sejak jaman dulu. Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, konteksnya dimana bangsa kita mengakui bahwa alam semesta yang menciptakan adalah Tuhan, tidak perlu diperdebatkan lagi. Di Indonesia tumbuh beragam agama, kalau dilihat sejarahnya ada 600 lebih agama atau kepercayaan yang percaya bahwa sang pencipta, maha kuasa, maha suci adalah Tuhan, dengan nama yang berbeda-beda. Untuk dapat dekat dengan Tuhan, setiap agama atau kepercayaan memiliki ritual peribadatan yang berbeda-beda. Saat ini pemerintah mengakui ada 5 agama dibawah naungan Departemen Agama, dan semua berasal dari luar Indonesia. Lima agama ini diakui karena memiliki pengikut yang jumlahnya lebih dari 1 juta orang. Sehingga pemerintah menyediakan anggaran untuk mendukung aktifitas dari agama tersebut. Sebaliknya bukan berarti kepercayaan yang tumbuh di Indonesia tidak bisa menjadi agama, asal jumlah pengikutnya sesuai ketentuan dari pemerintah.
Kedua, tentu kita ini harus berperikemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai landasan bernegara menuju tujuan adil dan makmur. Kemudian sila ketiga, persatuan Indonesia. Kita ini harus memiliki kesatuan nasional, meski kita berbeda-beda agama, kebiasaan, dan bahasa, tetapi kita bisa bersatu. Keempat, adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kita ini tidak mengikuti demokrasi gaya Barat yaitu 1 orang 1 suara, tetapi berdasarkan musyawarah mufakat, mengutamakan dialog. Dan kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah yang menjadi satu sumpah sebagai landasan pembangunan yang tidak boleh diubah-ubah. Apakah kita sudah menjalankan itu semua, kalau itu undang-undang maka diikuti dengan peraturan pelaksananya dan peraturan ini harus terus disosialisasikan dan diberikan contoh. Sebenarnya ini yang sudah berjalan di negara maju yang ingin mensejahterakan rakyatnya. Seperti di Singapore yang sudah melaksanakan pancasila lebih maju daripada di Indonesia. Contohnya di sana itu rakyat kecil sangat diperhatikan, seperti pemberian rumah susun yang dilengkapi klinik dan sekolah yang setara dengan klinik-klinik untuk orang kaya, dalam arti kualitas dokter dan pelayanannya.Tentunya berbeda dalam bentuk gedung atau kamar dari segi kemewahan, masing-masing tergantung kantongnya. Tetapi paling tidak, klinik tersebut tidak boleh membeda-bedakan dalam hal kualitas pelayanan. Singapore sudah berhasil menjalankan sisi kemanusiaan. Begitu juga untuk pejalan kaki dan pengguna transportasi umum sangat diperhatikan terutama untuk rakyat miskin, terasa sekali rasa keadilannya. Ini menunjukkan Singapore lebih pancasialis daripada Indonesia. Hal ini yang menentukan adalah pendidikan, makin tinggi pendidikan seseorang maka makin tinggi pula kesempatan untuk meningkatkan penghasilannya. Sehingga akan terbentuk kelas menengah yang kuat, tidak seperti di Indonesia yang bentuknya seperti piramida. Kalau negara maju yang pancasilais maka bentuknya hampir bulat.
Menurut Bung Karno, keutamaan dari bangsa kita adalah gotong royong, sementara budaya Barat adalah individualis. Rumah-rumah di desa dulu tidak memiliki batas atau pagar dan selalu bergotong royong. Tetapi kini kita mengadopsi gaya Barat, dimana tiap rumah dipagari. Kemudian yang lain juga mengadopsi individualis, yang tidak semua salah, hanya karena kebablasan sehingga menjadi materialistik. Sedangkan gotong royong yang kebablasan juga kurang bagus karena tidak menghargai milik orang lain, punya saya juga punya anda dan punya anda juga punya saya, ini juga tidak benar. Ini tidak memberikan insentif orang untuk bekerja keras. Yang benar adalah jika semua berimbang, ada suasana dimana kita menghargai privasi orang, tetapi kita tetap selalu bergotong royong dalam aspek kehidupan dasar kita seperti pendidikan dan kesehatan.
Untuk itu budaya bangsa Indonesia harus kembali ditonjolkan, seperti Jababeka membuat multicultural center untuk mendorong agar orang-orang berbudaya. Pada dasarnya tahap dari pembangunan di Indonesia itu ada tiga. Tahap pertama, jaman Bung Karno itu jaman revolusi dimana kita ingin merdeka dari penjajahan, sehingga ilmu yang dipakai adalah ilmu perang, segala cara dihalalkan. Tahap kedua, jaman Pak Harto adalah jaman pembangunan. Kita diajarkan menjadi insinyur, arsitek, ahli hukum, ahli ekonomi yang membuat kita semua mengerti aturan main, sehingga kita menuju manusia yang profesional. Yang dipakai tidak ilmu perang lagi, tetapi ilmu industri dan teknologi. Selanjutnya di masa Gusdur kita masuk ke tahap ketiga yaitu jaman kebudayaan dengan kembali ke budaya kita dulu. Buat apa kita melakukan pembangunan, tetapi kita tidak berbudaya atau tidak nyaman lagi karena saling curiga, saling fitnah, mencuri, membunuh, korupsi yang menunjukkan manusia-manusia yang tidak berbudaya. Kalau kita sudah masuk ke masyarakat yang berbudaya maka sudah disebut pancasilais. Ini sudah dicapai Singapore yang merupakan laboratoriumnya Indonesia. Maka Jababeka banyak mengadopsi apa-apa yang sudah dikerjakan Singapore dalam pembangunan dari segi arsitektur dan fasilitas-fasilitasnya, meskipun kita tidak bisa secepat itu, karena Jababeka bukan pemerintah dengan dana terbatas dan juga tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi warga kota.
Bangsa kita memiliki beragam budaya, agar tidak saling bertentangan maka harus menonjolkan budi luhur dan cinta kasih. Pertama cinta kepada alam, misalnya kita melihat sampah di jalan, maka harus dibersihkan, juga menanam pohon sebanyak-banyaknya tanpa harus disuruh, bahkan bisa mengajak orang lain. Demikian juga cinta kepada pemerintah yang diibaratkan orang tua, maka harus dihormati bukan berarti tidak boleh dikritik. Kita mendukung pemerintah agar bisa melayani rakyatnya. Begitu pun terhadap orang tua harus kita hormati, karena budaya akan rusak jika tidak ada penghormatan kepada orang tua atau yang dituakan seperti guru. Juga cinta kepada keluarga dengan memenuhi hak dan tanggungjawab  masing-masing anggota keluarga. Selanjutnya bekerja keras agar mampu merubah nasib kita, tidak bisa hanya bermalasan, jangan sampai bangsa ini dicap bangsa yang malas. Ini bukan cerminan budaya Indonesia, karena bangsa ini hakekatnya pekerja keras. Demikian Catatan saya kali ini, terima kasih. ***

0 komentar:

Posting Komentar