Sabtu, 01 Oktober 2011

BELAJAR DARI WAE REBO


BELAJAR DARI WAE REBO
Oleh Eka Budianta
Kalau anda suka berjalan jauh, masih kuat mendaki sekitar 4 jam 30 menit, dan rela menghabiskan uang sekitar Rp 8juta, cobalah pergi ke Flores. Saya akan mengajak anda ke desa terpencil di pantai Selatan, kabupaten Manggarai Barat, sekitar 1000 meter di atas permukaan Laut Sawu.  Itulah dusun Wae Rebo. Tempatnya dingin di puncak bukit.  Hanya ada tujuh rumah adat di sana. Selebihnya hutan lindung, sedikit kebun kopi dan pohon-pohon worok.
Pohon worok itu besar, kukuh dan kuat. Cocok untuk tiang utama rumah adat yang terdiri dari lima lantai, berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Paling sedikit 50 keluarga mendiami enam rumah adat itu.  Rumah ketujuh disiapkan untuk para tamu, lengkap dengan bangunan dapur dan kamar mandi, yang juga berbentuk kerucut, lebih kecil, pendek dan serasi. Para arsitek dan insinyur sipil, perlu tahu bagaimana warga desa mendirikan rumah besar beratap rumbia berselang-seling ijuk itu.
Kalau anda seorang pegiat lingkungan, sosial dan budaya, akan merasakan banyak manfaatnya.  Anda akan terkagum-kagum, bagaimana sebuah bangunan dengan 5 lantai bisa tegak berdiri dalam hitungan hari. Tidak kurang dari Prof. Dr. Josef Prijotomo, dosen arsitektur Institut Teknologi Surabaya (ITS) ikut terpesona.  “Saat inilah kebangkitan Arsitektur Nusantara,” katanya.
Artinya, saat ini kita diundang menimba kebijakan tradisional untuk mernjawab bermacam persoalan hari ini.  Bagi yang kritis terhadap masa depan, biasanya sudah tahu bahwa pertanyaan di hari esok jawabnya ada pada masa lalu.  Desa kecil Wae Rebo, di punggung perbukitan pantai selatan Flores yang sunyi itu telah menyumbangkan solusinya.  Bayangkan, bagaimana manusia bisa membangun rumah lima lantai hanya dengan peralatan sederhana dan tanpa paku.
Mereka mengumpulkan kayu dan rotan dari bermacam ukuran.  Mereka memohon restu pada para leluhur, mengikuti berbagai ketentuan adat, tradisi, doa-doa. Dengan rendaah hati, sabar dan kekuatan kolektif, mereka dirikan tiang-tiang dan mereka rakit lantai demi lantai.  Atap dari rumbia dianyaam dan dipasang melingkar.  Semakin tinggi, semakin dianggap sakral dan dipakaai untuk menyimpan pusaka.
Apakah pusaka bagi orang desa? Senjata? Bukan. Yang paling banyak adalah bermacam gendang, instrumen musik – gong kecil yang menghasilkan bunyi-bunyian.  Ada juga kain tenun, selendang, dan beberapa asesori untuk menari.  Ada gelang, ikat kepala, alat-alat keagamaan.  Tanpa diucapkan sekalipun, kita sudah tahu betapa warga desa menjunjung tinggi perdamaian dan kebahagiaan.
Itulah inti hidup harmonis, bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bakat dan peran sosial masing-masing kita.  Kalau anda seorang pemborong, industriwan atau pebisnis, hitungan sederhana untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, tentunya merupakan SOP (standard operation procedure) sehari-hari.  Hemat energi tapi menghasilkan tenaga sebesar-besarnya.  Minimisasi modal maksimalisasi keuntungan.
Hal ini ternyata ada dalam suku yang paling sederhana, seperti saudara kita di Wae Rebo itu.  Bayangkan, hanya dengan 300 laki-laki dewasa, plus 300 ibu-ibu, dan sekitar 500 anak, Wae Rebo telah menjadi terkenal di seluruh dunia.   Seorang pria bernama Martin, membuka penginapan dan jasa tracking ke desa itu.  Tamunya datang dari Belanda, Hongaria, Jerman, Amerika dan mana saja. Seorang lagi, Blasius juga menyediakan rumahnya untuk penginapan dan pusat informasi.
Hasilnya, dalam setahun ia bisa menampung 80-an turis manca negara. Serentak dengan itu dia menghidup puluhan pemuda yang menjadi porter atau pengangkut barang.  Seorang lagi, adalah Frans Mudir yang memimpin pemugaran rumah-rumah adat itu.  Tiga orang ini: Martin – Blasius dan Frans, pergi ke Jakarta mencari donatur untuk membangun dusun tercinta.
Kebetulan ada arsitek dan pejuang ulung, Yori Antar, yang memang getol mengurus rumah-rumah asli Indonesia.  Dia membangun rumah yang roboh di Pulau Nias, bangunan panjang di Sintang, Kalimantan Barat, rumah adat Sumba, Karo, dan seterusnya.  Maka diajaknya tiga otrang itu bertemu para filantropis dan kalangan swasta yang berminat.  Hasilnya: yang kita lihat rumah-rumah adat tegak dan berseri kembali.
Bayangkan, 600 pria dan wanita dewasa di sebuah desa bisa membangun tujuh rumah adat masing-masing lima lantai. Bagaimana jadinya Republik ini kalau setiap desa bisa sehebat Wae Rebo.  Alangkah maju dan kaya Indonesia bila setiap masyarakat mampu menunjukan kehebatan dan prestasinya. Cobalah kita renungkan itu mulai dari diri sendiri, di lingkungan sendiri.
Misalnya anda tinggal di Cikarang. Apa keistimewaan tempat ini? Prestasi terbagus apa yang dapat anda capai bersama para tetangga, kolega dan teman-teman? Setiap sudut dari negeri ini membuka kesempatan dan peluang untuk berkarya dan berprestasi.  Kita telah melihatnya dengan gamblang melalui wajah-wajah sederhana di desa Wae Rebo yang terpencil, tetapi sungguh damai dan berbesar hati. ***
Eka Budianta, pengelola Jababeka Multi Cultural Centre dan pengurus Tirto Utomo Foundation, anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).

0 komentar:

Posting Komentar