Selasa, 01 November 2011

MENGHARGAI SENIOR & NAFSU KERJA

MENGHARGAI SENIOR & NAFSU KERJA
Apa kata direktur utama PLN, Dahlan Iskan ketika diangkat menjadi menteri BUMN?  "Saya bisa bekerja dengan bebas karena iklim yang diciptakan oleh menteri BUMN.  Jadi, sebagai penerus, saya akan melanjutkan yang telah dirintisnya," kata Dahlan. Apakah itu?  Menciptakan iklim supaya semua direktur BUMN bisa bekerja dengan penuh semangat.
Memang betul, semangat adalah kunci sukses untuk melakukan apa saja. Jangankan untuk membangun negara, untuk makan pun kita perlu bersemangat, bernafsu.  Tanpa nafsu, tidak ada yang dapat kita lakukan di bumi ini.  Dahlan Iskan telah membuktikan hal itu.
Tetapi ada yang penting dan harus mengiringi semangat kerja, yaitu respek pada pemimpin, senior atau pendahulu kita.  Pernyataan Dahlan untuk meneruskan semangat dan perilaku pendahulunya, bisa jadi contoh komitmen yang baik.  Tinggal sekarang bagaimana membuktikan pernyataan yang luhur mulia.
Banyak orang merasa telah menghormati orangtua, pimpinan atau pendahulunya.  Misalnya dengan menggarisbawahi rasa hormat.  Ada yang demikian hormat, cium tangan, bahkan setengah menyembah, menunjukkan rasa takut berlebihan, tak berani membantah. Tetapi tentu bukan itu cara menghormati yang benar.
Kita justru menghormati orangtua atau pendahulu kita, kalau berhasil bekerja lebih keras, lebih bersemangat dari mereka.  Jangan bilang menghormati ayah dan ibu kalau kita tidak lebih rajin, dan tidak lebih bertanggung jawab. Dan yang lebih penting, bagaimana mengajak orang lain ikut menyebarluaskan nilai-nilai yang diwariskan dengan penuh kasih dan bangga.
Banyak contoh penghormatan pada tokoh di kantor, di organisasi mulai berkembang dengaan baik di Indonesia.  Perkumpulan pensiunan Telkom, mengundang saya hadir dalam malam apresiasi sesepuh mereka.  Namanya Agus Darman, berumur 81 tahun. Ia dikenal sebagai pimpinan yang bersih, penuh perhatian kepada anak buahnya.
Untuk Agus Darman ini, para pensiunan Telkom rela menyusun sebuah buku kenangan yang bagus.  Judulnya "Mengukir Telefoni Nusantara".  Isinya segala puja dan puji, rasa syukur dan bangga telah dikaruniai kolega yang baik, senior yang patut diteladani, direktur yang layak dicintai.
Agus Darman, pelopor teknologi telefoni di negeri ini, tidak banyak orang yang mengenal.  Dalam usia 81 tahun ia masih pintar mengarang lagu, menyanyi, dan jalan pagi.  Dialah yang diakui banyak berjasa dalam pengembangan telefoni di negeri kita.
Tetapi, tentu tidak semua orang yang berjasa serta merta mendapat penghargaan atau hadiah dari pemerintah.  Justru penghargaan yang tidak ternilai datang dari lingkungannya sendiri.  Teman-teman, bekas murid, bekas anak buah masih mengingatnya dan membuat pesta untuknya.
Tunggu sebentar.  Apakah menghargai senior hanya sebatas menyusun buku dan membuat pesta untuknya.  Tentu lebih dari itu. Menghormati senior berarti meneruskaan kerja keras dan mewujudkan cita-citanya.  Agus Darman termasuk perancang Fundamental Planning 1972, yang mendasari pengembangan teknik dan dunia pertelponan di Indonesia.
Ia adalah seorang pekerja yang penuh semangat, gigih dan terbuka.  Minat dan semangatnya untuk berbagi ilmu, berbagi cinta kepada negeri ini, boleh diacungi jempol.  Pada jamannya, ia telah melakukan yang terbaik dan sekuat tenaga.  Pertanyaannya tentu, apakah para penerusnya telah berbuat optimal?
Kita tidak bisa menjawab atas nama mereka, apalagi menghakiminya.  Kita hanya berpikir cermat, ada organisasi, perusahaan dan proyek-proyek jangka panjang yang didukung pendiri dan penerus yang sama-sama hebat.   Ada juga penerus yang penuh semangat.  Ia bekerja keras dengan etika memuliakan pendahulunya.  Contohnya adalah Dahlan Iskan tadi.
Tetapi ada juga karyawan, kolega atau lingkungan apa pun namanya, yang menghargai seniornya secara tulus, kolektif dan berani.  Contohnya adalah para pegiat di perusahaan telekomunikasi, tempat Agus Darman membaktikan hampir seluruh tenaga, bahkan umurnya.
Orang semacam Dahlan dan Agus dapat dijadikan contoh, bahkan pelopor untuk bekerja keras. Pertanyaannya adalah, bagaimana mewariskan nafsu bekerja?  Dapatkah kita paksakan agar generasi mendatang harus bekerja lebih keras dari yang dapat kita lakukan?
Nafsu bekerja dan semangat menghargai pendahulu yang ada di dalam hati dan perbuatan kita, hendaknya menjadi jawabannya.  Kita tidak mungkin meminta penghargan tanpa memberi contoh bagaimana menghargai senior, seperti mengadakan pesta. Dan yang lebih penting bagaimana kita mampu lebih rajin, lebih bersungguh-sungguh dan lebih bertanggung-jawab ketimbang para sesepuh yang telah lebih dulu bekerja untuk masa depan.***
Eka Budianta,pengelola Jababeka Multi Cultural Centre dan pengurus Tirto Utomo Foundation,
anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI).

0 komentar:

Posting Komentar